Sebuah ulasan dan telaah, draf novel; ”Kunang-kunang Tanpa Cahaya”

Adikarya: YuniAstuti

Sesungguhnya agak lama kutercenung. Draf novel ini sejujurnya sudah berada di inbox emailku manakala kusudah berada di Jambi, dalam perjalanan balik ke kota Gudeg, Yogya (sekitar satu bulan yang lalu/awal ramadhan 1429 Hijri). Dengan sebuah permintaan via SMS, ”draf novel sudah terkirim. Tolong! Novel KKTC dieditin.”

Di antara hantaman dera maag yang melilit perut, cekikan radang tenggorokan, badai flu plus demam meninggi, selama ramadhan mubaarak dan yang terakhir kini batuk kering yang menyelimuti jasadku tak berkesudahan, barulah dalam tiga hari ini kubisa menyentuh, menyeduh makna dan mengedit katanya.

Ada beberapa ihwal yang bisa kuulas dan kubeberkan kepadamu mengenai novel ini.

Jenis Novel (genre)

Draf novel ’Kunang-kunang Tanpa Cahaya” bergenre fiksi islami. Memang, kini fiksi islami memang sedang –in- (booming) di pasaran buku. Para penerbit blusukan mencari naskah-naskah baru. Bahkan di toko-toko buku novel-novel islami bejibun di rak-rak buku bak cendawan di musim penghujan. Baik di Toko Buku Gramedia, TB. SOCIAL AGENCY, SHOPPING CENTER ataupun di TB. TOGA MAS.

Segmen

Sungguh! Kusebenarnya kurang menguasai bahasa remaja (gaul) gerangan apalagi yang berlogat Jakarte (serupa, Loe, Gue). Karena aku memang berkonsentrasi di novel chic-lit (novel dewasa tentu saja yang bernapas islami) dan lebih konsen ke aliran romantisme (aliran Victor Hugo), Haiku-nya Eiji Yoshikawa, dan semisal puisi-novel (Kahlil Gibran dan Ibnu Hazm) itulah jenis novel yang kugeluti dan kugandrungi. Sejujurnya, aku kurang menguasai kecenderungan bahasa remaja. Karena keterbatasan rujukan dan referensi yang kubaca adalah novel dewasa jua. Tetapi itu tidaklah mengurangi pijar semangatku untuk mengedit novel KKTC.

Kenapa aku menyebutnya novel ini teen-lit (novel remaja)? Yah! Dari segi bahasa dan tema perubahan diri, pergulatan tokoh utamanya dsb. itulah yang menyimpulkannya sendiri.

Tema novel

Perubahan! Cinta! Kematian! Kesedihan!

Itulah tema novel yang sering diangkat oleh para novelis. Dalam novel ’Kunang-kunang Tanpa Cahaya’ juga mengangkat tema ini. Dimulailah kala Erlinda (tokoh utama) menanyakan keabsahan status nikah ortunya (yang kumpul kebo/tinggal serumah tanpa nikah). Seiring waktu Erlin melarikan diri dari masalah dengan jalan kabur dari rumah karena tak kuasa menahan caci dan cemooh dari teman-temannya di sekolah. Dalam pengembaraan dirinya itulah ia menemukan ISLAM sebagai cahaya, ia jadi tahu hakikat keciptaan dirinya. Seperti fiksi-fiksi islami lainnya akhirnya Ayah Erlinda bisa memeluk Islam. Pun meski tidak bisa lagi bersatu terkarenakan sang Ibunda Erlinda menemui ajal karena sakit, setelah ayahnya masuk Islam.

Hampir (tidak semua loh!) semua fiksi islami bertemakan perubahan diri dari perangai buruk menjadi baik. Dari yang tidak kenal; agama menjadi taat. Begituh!

Sememang, tema PERUBAHAN DIRI pasti takkan pernah MATI!

Bila kubaca novel ini, kumelirik sisi-sisi masa lalu nan ada di belakangku.

Dulu, betapa kutatap dengan kilasan ’agak sinis’ kala kumelihat cewek yang pakai kerudung gaul, sampai-sampai di FS banyak yang ngantri untuk di approve. Apakah langsung ku-approve? Ternyata tidak… ternyata syakwaku (su’ udzhanku lebih gedhe dibanding niat tulus mereka). Sampailah suatu kala, seorang cewek gaul minta di-approve (kalau dia baca blog ini.. bolehlah dan pastilah ia tersenyum-senyum), dan memang ’ia’ langsung kuhela dengan email kewajiban muslimah untuk mengenakan jilbab yang syar’i. Kamu tahu jawaban lugunya? ”niatku meng-add kamu adalah, supaya aku bisa belajar dan kenal Islam. Kalau gak mau kenal dan bersahabat, ya udah!”

Astaghfirulah!

Ternyata terkadang kita masih menafikan keinginan sahabat-sahabat kita yang ingin ”lebih dekat dan lekat dengan Islam”. Terkadang ego ’sok alim’ kita lebih mengedepan dibanding keinginan mereka UNTUK MERUBAH DIRI. Saya seperti tersindir oleh kutipan ayat yang ada di novel ini, pada hal 142;

”Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah (Allah) yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” An Najm 53

Sejujurnya ayat ini begitu mengentak, menyentak dan mengubah alur dakwahku. Kala kubercermin! Apakah diriku dulu tak serupa dengan mereka-mereka yang ingin berubah??? Malah termungkin masa laluku lebih jelek dari masa lalu mereka?

Yah! Manusia yang TAK BISA BERUBAH? Dan TAK MAU BERUBAH Ia laksana ’Kunang-kunang Tanpa Cahaya’, ia redup dan tak terarah hidupnya. Hampa serasa, pudar gairah hidupnya, dan jenuh langkah jalannya dsb. Seperti yang kukutip di bawah ini;

”…Coba bayangkan, ketika kunang-kunang itu tanpa cahaya, ia meraba-raba tanpa tahu harus ke mana. Kehilangan arah! Begitu juga ketika kunang-kunang bercahaya tapi hanya sendiri, tak ada yang menemaninya, tentu ia akan tersesat….”

Yuni Astuti, draf novel KKTC hal, 134

Kubegitu berbahagia dan membiruharu lantas menitikkan kristal-kristal di pelupuk mataku, pabila melihat orang bisa merubah dirinya. Bisa memaknai hakikat keciptaan dirinya. Ia begitu memahami hakikat tiga pertanyaan besar yang ada di lubuk jiwanya, yakni PERTAMA, DARI MANA IA BERASAL? Apakah ia ’tiba-tiba’ saja terlahir di dunia? Ataukah ada Sang Pencipta? Nah, seiring waktu berlalu dan ia termampu menjawab pertanyaan pertama (bahwasannyalah ia lahir dan ia ada, karena kuasa iradah Allah Azza wa Jalla). Tiba-tiba, kala ia akil baligh pertanyaan KEDUA memuncul… UNTUK APA IA HIDUP? Apakah untuk bersenang-senang semata (dugem, pacaran, hidup hedonis) ataukah hidup hanya memupuk kekayaan semata, lalu menikmatinya dengan berjemur di Pantai Kuta atau Karibia? Ataukah ada MISI BESAR YANG DIEMBAN dalam hidupnya? Berkenankah kamu teruntuk melihatkan surat adz Zaariyat 56, untuk mengetahui UNTUK APA KAMU HIDUP. Setelah tahu misi hidupnya. Kemudian menghadang pertanyaan KETIGA.. MAU KE MANA SETELAH HIDUP?… apakah setelah mati tidak ADA KEHIDUPAN LAGI? Ternyata ada kehidupan membaka nan menanti di hadapan kita. Nah! Ketiga pertanyaan ini (UQDATUL KUBRA) mencoba diurai satu persatu simpulnya melalui novel KUNANG-KUNANG TANPA CAHAYA oleh sang penulis novelnya.

O, lihatlah manakala orang telah berubah, ”bisa merubah dirinya dari masa kelam menuju masa depan yang penuh dengan cahaya harapan nan gemilang. Dari limbah kejahilan dan kemaksiyatan ia mendaki perlahan menuju TAMAN-TAMAN PERINDU TUHAN”. Tubuhnya memendarkan cahaya keshalihan dan kebeningan iman. Aromanya tubuhnya menebarkan aroma ketakwaan yang melangit yang dirindui para malaikat penghuni langit. Kemerlip cahayawi tubuhnya yang sudah terlumuri parfum ’taubah nasuha’ begitu memukau semesta, lebih mewangi dari seharum minyak kesturi. Kembali kuharus tersentuh dengan goresan indah pena Yuni Astuti di bawah ini;

”…Lihatlah! kala kunang-kunang itu bercahaya, mereka dapat hidup dan menghiasi malam dengan cahayanya.”

Yuni Astuti, KKTC, hal 134

Di balik itu aku sungguh dirundung rasa pilu.

Sungguh! Di satu sisi kuberbahagia manakala melihat sahabatku bisa berubah dan mengubah alur hidupnya (termasuk diriku sendiri, yang masih belajar berdakwah jua sepertimu), tapi di kepingan sisi lain kusangat bermuram durja. Kenapa??

Banyak pula sahabatku kini yang berguguran (bukan syahid di medan jihad), tetapi ia sudah jenuh dengan dakwah, dan melupakannya (tidak dakwah lagi). Entah gerangan apa penyebabnya. Ada yang karena sudah menikah, ada yang ingin konsen di studinya dan ada yang begitu terpukau dengan harta duniawi semata, atau punlah alasan-alasan yang lainnya. Tentulah itu hak pribadi masing-masing untuk menjawabnya. Karena aku sungguh tak berhak menjawabnya atau menjustifikasinya.

Untuk yang baru memulai dakwah (seperti aku jua)… berazamlah! istiqomahlah! Bersabarlah! dalam derap dakwahmu. Meskipun engkau hanya bisa menyampaikan satu ayat dan satu hadith saja, meskipun engkau bak menggenggam bara panas nan menyala-nyala… TETAPLAH MENEBARKAN HARUMNYA Islam! Kala engkau DIAM berarti jiwamu telah MATI, meskipun jasadmu masih melekat ada dan bergentayangan, hakikatnya jiwamu sudah tumpul. Apakah engkau tidak tersindir dengan ayat ini…

”Tidaklah sama antara orang Mukmin yang duduk-duduk saja (tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya…” An Nisa 95

Apakah sama derajat orang YANG BERDAKWAH dengan ORANG YANG BERLEHA-LEHA (meninggalkan medan dakwah)? Mari kita perdengarkan dan simak lagi sindiran dari Allah Azza wa Jalla selanjutnya…

”…Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk-duduk saja satu derajat…”

An Nisa 95

Kuteringat dengan manikam puisinya Ibnu Hazm, dalam kitabnya, Tauqul Hamaamah, ”bahwasanya CINTA itu bisa hilang karena sebab” dan dakwah pun bisa lenyap karenya ’lenyapnya sebab’ itu. Dan itulah yang menodai hakikat cinta ataupun kelurusan dakwah itu sendiri. Ketika ’yang menyebabkan ia berdakwah’ itu lenyap atau pudar maka dakwah pun lenyap ataupun musnah dari langit pengharapan.

Maka berhati-hatilah dalam memulai dakwah (niat kala dakwah). Bukankah dalam Islam ’membingkai niat’ menempati urutan terdepan dalam haal (perbuatan) atau amal? Tetapi kala niat tulus telah menhunjam ke dalam kalbu, insya Allah niat itu akan selalu menyerta langkahmu! Dakwahmu!.

Banyak di luaran sana jiwa manusia yang suram tak bercahaya, ibarat kunang-kunang tanpa cahaya. Dan jujur, mereka akhirnya kelak merindukan seberkas CAHAYA! Tetapi, kenapa kala kemerlip cahaya indah itu telah kauperoleh dan kaugenggam lantas dengan rela dan mudah engkau melepaskan…?

Hanya satu pinta untukmu untukku:

”Ya Allah! Nan Maha membolak-balik jiwa… Senantiasa kukuhkan kami di jalanMu!”

“Novel ini sesungguhnya membuat kita bermuhasabah! Lalu mengugah jiwa! Lantas mengubah! Terakhir ia mengajak pembacanya menjadi jurubicara dakwah! Dakwah yang mengubah ummah!!! Dengan lisan kefasihan dan kisah tauladan akhlak!”

Terlepas dari kebeliaan dan keserbakurangan dari sang penulisnya dalam meretas karya fiksi, novel ini layak menemanimu kala cermin jiwamu sedang berdebu dan memburam. Agar kemerlip ‘cahaya kunangmu’ kembali mencahayai semesta!

Komentarku untuk novel ini;

“Sederhana, tetapi indah dengan sejuta makna!”

Wallahu a’lam bi ashshawaab

Alhamdulillah! Wa shalatu wassalamu a’la rasulilah

Pendar Cahaya Kunang di Yogya, 10 Oktober 2008 01:05

ApuIndragiry

[Penyair, tinggal di Tasikmalaya]

10 responses »

  1. arawinda says:

    Kak Apu, jazakallah waktu itu bersedia ngedit tulisanku yg sangat berantakan. Aku banyak belajar dari antum Kak. Bahkan salah satu kisah antum, menjadi inspirasi besar bagiku. Cielee…. 😀

  2. muhammad riduan says:

    aslm.kata-katanya indah,merasuk dalam hati,memberi motivasi,,,,

    • sastralangit says:

      wa alaikum salam. terimakasih untuk kata apresiasi dan keluangan masanya. semoga tabloid ini besar dan mennggurita lantaran masukan tduh pembaca setianya. amin

  3. zainal arif says:

    kang apu’ pa kabrnya? alkhamdulillah ada sejuta penasaran yang terus bersenyawa dalam relung jiwa, tatkala kumaknai sebaris tulisanmu. aduhai indahnya puisi taman langit sempat kau relakan untuk kubiaskan dalam hidup.
    kang apu’ kunantikan draft file novelet kang apu’ untuk direlakan oleh hausnya dahaga ukiran jiwamu nan terpancar keimanan dan kesalihan.

  4. shabrina says:

    Jalan menuju perubahan yg lebih baik tentulah tak semulus atau seindah yg dbayangkan. Banyak halangan & rintangan yg kan mewarnai pjalanan itu..
    Dan brusaha untuk Istiqomah d jalan kbaikan.. Smoga Qta tmasuk orang2 yg snantiasa istiqomah d dalam dakwah ini.. Amin..

  5. Budi Setiyarso says:

    sip.tingkatkan karyanya

Leave a comment