Kanvas Pena karya: Apu’ Indragiry

1

Mobil Honda Jazz berwarna silver, BG 3344 LS lamat-lamat memasuki halaman parkir. Kulihat selintas lalu lewat celah-celah tirai gorden kaca jendela kantorku.

Dua sosok anggun Muslimah turun dengan langkah tergesa-gesa. Yang satu memakai gamis biru langit dan memakai kerudung putih, sedang yang satu lagi memakai gamis krem dipadu dengan kerudung putih juga.

Pintu kantorku menderit. Terbuka.

Terik surya siang ini bak mengaromakan hawa angin panas dari Gurun Sahara yang memaksa untuk menyelusup masuk.  Setelah pintu menutup dengan sendirinya, hawa sejuk AC  kembali menerpa ruangan. Dingin!

“Assalamu ‘alaikum!’

Aku pun dengan diiringi senyum menjawab uluk salam itu, “Wa ‘alaikum salam.”

“Silakan duduk, Mbak.” Sambutku.

Setelah mereka duduk dengan tenang.

“Ada yang bisa kami bantu, Mbak?” tanyaku dengan sopan.

Muslimah yang bergamis biru langsung menjawab, “Saya berencana mau mencetak novel. Novel ini karya perdana saya. Untuk mencetak lima ribu eksemplar novel kira-kira kena biaya berapa, ya?”

“Saya lihat dulu jumlah halamannya. Berapa halaman novelnya, Mbak?”

“Tiga ratus tigapuluh tiga halaman.”

“Tiga ratus,…..” sambil kupencet-pencet kalkulator yang ada di depanku, “tiga ratus tiga puluh halaman… mm,“

“Berapa biayanya, Mas kira-kiranya?”

Kulihat asumsi-asumsi hitungan di layar kalkulatorku. Lalu aku mendongak menatap mereka berdua, ”Kalau dicetak lima ribu eksemplar, bisa kena lima belas juta-an. Itu memang baru perkiraan kasarnya saja. Apalagi kini BBM barusan naik, dan mau tidak mau harga kertas di pasaran melejit tak terkendali. Kami tak kuasa untuk tak menaikkan harga cetak. Karena pasar kertas memang susah dikendalikan.”

“O. Begitu, ya! Memang zaman sekarang serba susah, Mas. Apalagi sistem ekonomi yang dipakai adalah sistem ekonomi kapitalis yang berbasiskan asas neoliberal dan ini pun didukung dan bertenun-kelindan dengan sistem pemerintahan sekuler yang jauh dari nilai-nilai ruh agama.” Muslimah yang berjilbab krem itu dengan cepat menyahut.

Kesunyian menerpa ruangan kantorku.

“Kenapa Mbak tidak mencoba menawarkan ke penerbit?” tiba-tiba aku nyeletuk.

“Maksudnya?”

“Maksud saya. Kenapa naskah novel Mbak diterbitin sendiri? Apa tidak ada penerbit yang tertarik dengan karyanya, Mbak?” tanyaku. “Apalagi nanti harus mengurus pemasaran dan sebagainya, kan repot juga.”

Muslimah yang bergamis biru itu berujar, ”Sudah, Mas. Saya sudah berkeliling ke penerbit-penerbit besar di Jakarta, bahkan saya sudah coba tawarkan ke  penerbit yang ada di Bandung, tetapi masih ditolak juga oleh mereka. Isinya terlalu kontroversial. Itu dalih penolakan mereka.”

Aku pun menganguk-anguk.

“Kalau naskah novelnya diterbitkan penerbit Al Quds, bagaimana?” tiba-tiba yang bergamis krem nyeletuk. Muslimah yang bergamis biru mencubit lengan kanan temannya itu. Muslimah yang bergamis krem mengaduh pelan.

Mau tak mau aku pun merebakkan senyum melihat polah mereka, “Boleh. Tapi, saya lihat dulu drafnya.”

“Kebetulan saya bawa salinannya.” Jawab Muslimah yang bergamis biru dengan cepat, “kami ambil dulu, ya!”

Aku pun menganguk, “Silakan…”

Kedua Muslimah itu kembali ke luar ruangan. Menuju mobil Honda Jazz di parkiran. Tak selang lama, mereka sudah masuk dan menenteng tas plastik berwarna hitam.

Muslimah yang mengenakan gamis biru meletakkan plastik itu di hadapanku.

“Ini draf naskah novel saya. Di dalamnya ada sinopsis novel dan riwayat hidup saya.”

“Oke! Saya pelajari dulu naskahnya. Paling lambat dalam satu bulan ini Mbak sudah bisa menerima kabar dari saya, apakah naskah novelnya layak terbit ataukah tidak.”

“Maaf, boleh saya tahu nama kalian?” tanyaku lagi.

Mereka berdua saling memandang satu sama lain. Lantas, Muslimah yang bergamis krem mengangukkan kepalanya, memberi isyarat ke Muslimah yang mengenakan gamis biru. Muslimah yang bergamis biru kemudian, berkata seraya memandangku sekejap, “Saya Halimah dan teman karibku ini Ummi Kultsum. Kami berdua sama-sama kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas YARSI. Saat ini kami sedang menjalani coass di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Kebetulan kami berdua sealumni semasa SMU dan berasal satu kota, Palembang.”

Aku pun tersenyum, ”Saya sudah tahu dari semula, bahwa mbak berdua itu dari Palembang,” sahutku.

“Oh, ya! Dari mana Mas tahu?” tanya Halimah keheranan.

“Kebetulan, tadi selintas melihat pelat mobil Mbak sewaktu masuk ke parkiran. Dan sungguh suatu  kebetulan, Wong Kito dikumpulkan di ruang ini, siang ini juga.”

“Maksudnya!! Mas dari Palembang juga?!!” seru mereka terperanjat.

“Iya. Saya dari Sekayu dekat dengan perbatasan Jambi.”

“O. Senang rasanya melihat orang sekampung sukses di Jakarta dengan percetakan  dan penerbitannya. Dan lebih menyenangkan lagi pabila naskah saya sesuai dengan visi penerbit Al Quds! Maaf, kami berdua pamit dulu, kami harus kembali. Nanti sore kami masuk coass. Kami tunggu kabar baik dari penerbit Al Quds untuk naskah novel saya.”

“Insya Allah, minimal dalam dua minggu ini saya akan memberi kabar. Mudah-mudahan saya punya waktu lebih untuk menelaahnya. Karena penerbit kami memang sedang membutuhkan naskah novel yang bervisi islami dan memuat dakwah! Dan sejujurnya, ini kali pertama kami menerbitkan novel.”

Mereka berdua lalu berdiri, seraya berpamit diri dengan uluk salam, ”Assalamu ‘alaikum…”

“Wa ‘alaikum salam!”

2

Dua minggu berselang…

Sedan Honda Jazz BG 3344 LS berwarna silver mengilat kembali masuk ke parkiran kantor percetakan dan penerbitku.

“Alhamdulillah! Setelah saya telaah dan saya urai serta kuseduh tiap kata dan gubahan indah rajutan maknanya, kutimbang kelebihan dan kekurangannya, kuputuskan bahwa naskah novel Bunga Kedua dalam bilangan satu bulan Insya Allah akan terpajang di toko-toko buku seantero Nusantara.” Kataku seraya tersenyum.

Mereka berdua saling memandang. Lalu berpelukan, ”Alhamdulillah! Ya Allah! Akhirnya novel yang saya garap selama hampir setahun di sela-sela kesibukan saya coass, akhirnya impas jua. Terima kasih, ya, Bang! Aku bahagia tak terperikan. Akhirnya cita-citaku sedari kecil, kini menjadi nyata!”

Aku pun merebakkan senyuman, melihat kegirangan mereka berdua.

Aku mengambil map berwarna krem dari laci kabinet. Lalu kutaruh di depan Halimah dan Ummi Kultsum.

“Menurut kebijakan kami, dan menurut Islam, kami tidak mengenal yang namanya  royalti dan hak cipta. Kami menghitungnya dengan per lembar hasil karya. Sebagai penulis pemula, kuhargai  novelmu dengan per lembarnya seharga seratus ribu rupiah. Sehingga nantinya, kamu beroleh sekitar Tiga Puluh Tiga Juta. Untuk pembayaran awal, saya bayar separohnya dulu. Sedang, biaya promosi, bedah buku dan acara temu penulis ke seluruh Nusantara, kami yang menanggungnya. Dan ada bonus khusus apabila novel ini meledak di pasaran kelak. Bagaimana?” tanyaku.

Halimah menjawab, “Saya setuju. Berarti saya memang tak salah pilih penerbit. Saya pernah membaca kitabnya Syekh Abdurrahman Al Baghdadi, Sistem Pendidikan Di Masa Khilafah Islam, beliau memang menuliskan di halaman 139, bahwa, ‘memanglah ilmu pengetahuan itu seyogianya tak ada hak dan royalti. Itu hanya ada di dalam hukum ekonomi industri kapitalis saja. Dan memerjualbelikan hak cipta, hak terbit beberapa kali sesungguhnya tidak diperbolehkan menurut ketentuan agama. Menurut beliau lagi, jual beli seperti ini hukumnya tidak sah. Seorang penulis yang setelah menuntaskan satu karyanya, ia berhak untuk menjual naskahnya itu hanya untuk satu kali saja, kecuali apabila ia merevisinya, maka ia boleh mendapatkan hak untuk yang kedua kalinya. Karena ihwal seperti inilah yang pernah dilakukan oleh para ulama terdahulu. Dahulu, kitab-kitab mereka ditimbang dengan seberat emas, dan seberat timbangan tersebut itulah sebagai harga atas jerih payahnya kala mengarang kitab. Semisal, Khalifah Al Makmun pernah memberikan emas seberat dengan buku yang disalinnya kepada Hunain bin Ishak.”

Aku pun kembali merebakkan senyum, ”Itulah yang melandasi saya. Semoga buah tulisanmu bisa menggugah jiwa dan membangkitkan pemikiran umat yang kian terpuruk kini. Silakan tanda tangani dua rangkap surat perjanjian dan mohon nomer rekening bank-nya diisi sekaligus.”

Tak menunggu lama Halimah dengan cepat mengoretkan jemarinya membentuk paraf dan mengisi nomer rekening tabungannya.

3

Bedah buku serta launching novel Bunga Kedua diawali di Masjid Al Azhar dan disambut khalayak umum dan mahasiwa dengan sangat antusias. Sebagai pembedah adalah Asma Nadia. Selain penulis fiksi islami senior, dia juga penulis yang produktif dalam menelorkan karya-karya inspiratif.

Tak menunggu kisaran waktu lama dan tak ada tembok kukuh mana pun yang bisa menghalangi lejitan novel Bunga Kedua. Cetakan pertama saja sudah ludes dalam bilangan waktu enam bulan.

Setelah direvisi, novel Bunga Kedua pun kucetak ulang dengan tiras dua puluh ribu eksemplar. Sudah tentu harga per lembarnya menjadi berlipat-lipat. Aku pun berani membeli satu juta per lembarnya untuk naskah revisi Halimah. Belum termasuk bonus dari penjualan. Bisa dibilang, ia kini menjadi jutawan baru, selain itu ia mulai dikenal sebagai penulis yang telah diperhitungkan di kancah kepenulisan. Jarang-jarang ada dokter sembari nyambi menjadi novelis.

“Ini benar, Bang?!!” Halimah dan Ummi Kultsum terbelalak melihat angka nominal tiga ratus tiga puluh juta yang tertera di selembar cek yang kutulis dan kutanda tangani.

Aku pun tersenyum, ”Seorang penulis kini telah terlahir dengan karya yang sungguh mengetuk relung jiwa. Halus tutur bahasanya. Kemasannya sungguh berbeda dengan penulis lain. Inovasi gaya bahasanya bercitarasa membeda. Inilah kelebihanmu yang tak dimiliki oleh penulis lain. Sesungguhnya, apa yang saya berikan itu sangatlah sewajarnya, itulah hasil jerih payahmu. Saya hanya memfasilitasi saja. Alhamdulillah! Semenjak penjualan novel Bunga Kedua melejit, penerbit ini lumayan terdongkrak dan mulai dikenal di blantika kepenerbitan. Sesungguhnya, karyamu membawa berkah untuk banyak orang, termasuk penerbit ini.”

4

Jakarta masih diselubungi kabut putih. Embun masih enggan luruh dari bebungaan di taman. Aku sedang menelaah naskah novel kedua Halimah yang berjudul Sejuta Jingga di sampingnya tergeletak draf novel perdananya Ummi Kultsum Pulang! Aku tersenyum, mungkin karena terbakar api cemburu semangat menulisnya Halimah, maka ia pun ikut terlecut dan termotivasi untuk menulis novel juga. Sesungguhnya aku terkagum-kagum dengan mereka berdua. Sudahlah salehah, dan di balik kepadatannya menjalani coass masih menyempatkan diri untuk menorehkan kuas tinta jiwa mereka. Dakwah lewat goresan indah pena memang sungguh dahsyat!!!

Tiba-tiba dering SMS menggema. Memecah konsentrasiku. Kuraih Nokia Komunikator N 9300i-ku.

Assalamu ‘alaikum,

Jika tak mengganggu, mohon dibuka emailmu sekarang!

Wassalamu ‘alaikum

Kubuka laptop Compaq-ku yang sudah terkoneksi dengan internet. Memang ada email baru yang masuk. Email dari Halimah di kotak surat.

Entah kenapa seperti tak biasa, jemariku tiba-tiba saja menggetar. Degup jantungku serasa bersenandung dengan memompa kian cepat.

From; bungakedua@yahoo.com

To: fajar_02@yahoo.com

Date: 3 March 2008 06.20 am

Subject: Sebuah Permintaan Jiwa!

[Assalamu ‘alaikum warahmatullaahi wa barakaatuh,

Tolong lampiran filenya dibuka ya…

Terima kasih…]

Aku men-download lampiran file, Sebuah Permintaan Jiwa….

Tak berselang lama sebuah ketikan dalam bentuk Ms Word terpampang di monitor laptopku.

[Assalamu ‘alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh

Salam secerah mentari pagi yang menyapa bumi Ilahi

Salam ketakjuban diri atas pesona elok dakwahmu,

Semoga naungan keberkahanNya selalu menyertaimu

Sesungguhnya nyanyian jiwa seseorang ini minta disampaikan. Lewat embusan email inilah ikhtiar kami gemakan. Sesungguhnya permintaannya menawarkan pertemanan kesejatian.

Sudah tentulah kamu pernah membaca pesona kisah uswah! Bagaimana keteladanan Ummul Mukminin Khadijah ra. melalui perantaraan Nafisah yang meminang Muhammad Saw. Insan mulia, terkasih dan terpilih, sebagai belahan jiwanya?! Sebagai pendamping jiwa pilihan ‘tuk menenun rajutan sutera seputih cinta. Apatah permintaan jiwa Khadijah radhiyallaahu anha kepada Muhammad Saw. itu suatu kehinaan? Ketercelaan tabiat? Dan menurunkan derajat kesalehan dan kemuliaan Khadijah ra. di mata baginda Rasulullah Saw.? Tentunyalah tidak, bukan?

Nah! Kini aku mewakili sang sahabatku terkasih, sahabat tercintaku, Ummi Kultsum. Ia berkeinginan untuk mengikuti titian sunah RasulNya, ia ingin menggenapkan separoh agamanya. Ia ingin menyempurnakan fitrah dirinya sebagai Muslimah, yakni menjadi istri nan salehah! Menjadi ibu peradaban dan menjadi madrasah jiwa teruntuk anak-anaknya kelak. Itulah senandung fitrah yang beralun-alun dengan serenada indah di jiwanya kini.

Berkenankah engkau memertimbangkan sahabat terbaikku untuk menjadi pendamping hidupmu?

Sesungguhnya, ia begitu terpesona dengan kesederhanan dan kesahajaan dirimu. Ia pun kian terpesona dengan dakwahmu yang menebarluaskan pemikiran dengan menjangkau khalayak dengan menerbitkan buku dan novel nan mencerdaskan umat.

Sesungguhnyalah, bagaimana ia tak terpesona! Ah. Di balik kesuksesanmu, engkau tetap dengan setia mengendarai Vespa kunomu. Padahal, engkau adalah direktur sebuah penerbit terkenal di negeri ini kini.

Itulah serenada jiwanya. Itulah degup-degup permohonan jiwanya. Kini! Ia  menginginkanku untuk menyampaikan salam! Salam permintaan jiwa untuk diberi kesempatan mendampingi langkahmu sebagai manikam jiwa, mutiara hidupmu, dan sebagai bidadari salehah yang halal untukmu.

Sudikah engkau?

Insya Allah, dia dan aku akan selesai coass bulan ini. Ia sungguh begitu berharap, saat membahagia itu tiba, sudah ada penyambung jiwa yang turut berbagi bahagia kala kelulusannya tiba.

Begitulah! Maaf, kalau mengganggu waktu sibukmu.

Oh, ya! Ummi Kultsum sedang merona pipi wajahnya! Ia ada di sampingku, kala kumintakan bait-bait jiwanya teruntukmu.

Wassalamu ‘alaikum,

Jakarta yang kini membunga indah, 2 Maret 2008 19:30

Yang sedang menunggu jawabmu, dengan sepenuh harap

Halimah, Sahabat tercintanya Ummi Kultsum]

Debar-debar jiwa bergeletaran di bumiku kini. Ah. Benarkah ia??? Sang bidadari pujaan, selama masa penantian nan melelahkan??? Sungguhkah???

Inikah saatnya?

Lalu, gerangan apalagi alasanku untuk menundainya?

Kuraih N 9300i ku.

Wa ‘alaikum salam.

Terima kasih teruntuk emailnya.

Beri saya waktu tiga hari teruntuk mengistikhara-inya.

Wassalam

5

Satu minggu yang lalu, karena kesibukan pekerjaanku yang kian menumpuk, kedua orang tuaku dan orang tuanya Ummi Kultsum yang mengalah dan berkenan datang berkunjung ke Jakarta. Pertemuan dua keluarga besar untuk membicarakan acara pinangan dan mendiskusikan ihwal kapan tanggal akad dan perayaan nikahnya dilangsungkan.

Petang ini, Ummi Kultsum dan Halimah pulang ke Palembang duluan. Insya Allah, akad dan perayaan nikahku dan Ummi Kultsum akan dilangsungkan tiga hari sedari sekarang. Itulah keputusan rapat dua keluarga besar minggu kemarin.

Ummi Kultsum dan Halimah enggan naik pesawat. Kala kutanya alasannya, kenapa? Jawabnya, katanya mereka ingin bernostalgia semasa keberangkatan mereka awal kuliah ke Jakarta dulu, yang bersama-sama naik bus Lintas Sumatera. Sebenarnya aku sudah mencegahnya, karena kutahu jalan Lintas Timur, Sumatera sedang rusak parah kini, tetapi memang dasar wanita! Kalau sudah punya niat ia kan pasti nekad dengan ujud tekad.

Dering SMS menjerit, dari Ummu Kultsum, calon bidadariku…

Assalamualaikum.  Kami sudah di pool PO LORENA

Kami berangkat lima belas menit lagi.

Mohon doa setulus hatinya untuk kami!

Entahlah, batinku menderu-deru aneh. Serasa tidak enak! Tapi kubalas juga SMS itu,

Waalaikumsalam. Iya!

Baru esok hari, rencananya aku akan menyusul, pulang ke Palembang. Aku sudah memesan tiket pesawat Sriwijaya Air, Jakarta-Palembang. Sesungguhnya aku kini sedang menyiapkan kejutan dahsyat dan indah untuk calon istriku itu di kala akad nanti.

Aku pun tersenyum. Mestilah bidadariku kelak kan tersipu kala kuberikan kejutan indah itu.

6

Aku keluar sebentar dari ruang kantorku. Menghirup udara segar dini hari yang masih suci dengan hawa kebeningan malam yang masih perawan. Titik-titik mutiara embun melekat di bebungaan yang ada di taman depan kantorku.

Bulan separoh menggelantung di atas langit malam dengan cahaya elok menawan. Kupandangi juga sejuta gemintang yang bertabur di cakrawala nan mahaluas. Cahaya kerlipnya memendar-mendar laksana kunang-kunang yang menyemarakkan langit jagat Metropolitan. Seolah-olah sang bintang gemintang sedang berbisik-bisik ke riuhnya kota Jakarta, bahwa sejujurnya, cahaya merekalah nan lebih mempesona ketimbang lampu-lampu pijar dunia di gedung-gedung pencakar langit.

Ismail muncul dengan wajah kuyu dan kepayahan karena lembur. Ia  Menyusulku ke luar dari kantor. Di tangannya ia menenteng dua buah novel.

“Ya Allah! Mas, belum rehat juga?” serunya, ”besok kan Mas harus terbang ke Palembang!”

Aku menepuk pundaknya, ”Lagi tanggung, Il. Aku ingin semuanya berjalan seperti yang aku rencanakan seperti semula. Kesuksesan untuk acara akad dan perayaannya, juga acara kejutan indah untuk istriku harus tanpa tersela cela esok.”

Ismail menebarkan senyum khas dan serta merta memamerkan kedua lesung pipitnya. Bersyukurlah kawan! Batinku, engkau dikaruniakan paras menawan, setampan Nabi Yusuf ‘alaihissalam. Andai jenggot tak tetumbuh lebat di dagu terbelahnya, bisa jadi banyak agensi model yang tertarik untuk mengontraknya sebagai model iklan dan main film di layar lebar. Di Al Quds Corporation, ia paling bertanggung jawab sebagai manajer produksi. Dia termasuk tiga orang kepercayaanku selain Hikmat sebagai Manajer Marketing dan Mohammad Taslim sebagai General Manager.

Lalu aku mengajaknya masuk kantor kembali. Ia meletakkan dua novel terbaru yang ditentengnya itu di depanku.

“Alhamdulillah! Sudah kelar semua, Mas. Kedua novel ini sudah siap dilempar ke pasar. Masing-masing telah kami cetak lima ribu eksemplar sebagai permulaan.”

Aku melihat kedua novel. Perwajahan dan desain sampul novelnya cukup menarik. Hurufnya yang berwarna putih keperakan dan di-embossed kian menawan hati bagi mata yang memandang. “Bagus sekali kerjaan lay-outer bawahanmu itu. Coba kamu tawari ia, apa mau jadi karyawan tetap di penerbit ini?”

“Wah, ini kabar gembira untuk dia, Mas. Kebetulan sekali ia sangat membutuhkan pekerjaan.” sahut Ismail.

Aku pun menganguk, “Seseorang yang mempunyai daya imajinasi kreatif dan kecerdasan langka  seperti dia, perlu kita wadahi. Oh, ya! Siapa namanya?”

“Wahyu, Mas..”

“O.”

Ismail menarik kursi dan duduk di hadapanku, “Mas, pastilah manakala akad dan perayaan nikah tiga hari lagi bakal heboh dan dahsyat!! Kejutan yang tak terduga kukira untuk Mbak Ummi Kultsum. Sungguh bidadari yang amat beruntung,” sambil senyam-senyum ia menggodaku.

Aku kembali tersenyum, “Kamu bisa saja! Oh, iya. Bagaimana dengan Ustadz Mohammad Fauzil Adhim dan Mbak Helvy Tiana Rossa?”

“Mereka berdua berkenan hadir, Mas.”

“Akomodasinya bagaimana?”

“Tiket PP Yogya-Palembang dan Palembang-Yogya sudah dikirim oleh Mas Hikmat ke Yogya. Tiketnya Mbak Helvy PP Jakarta-Palembang juga sudah diantar langsung oleh anak buahnya Mas Hikmat tadi siang ke kediamannya Mbak Helvy.”

“Tempat penginapan untuk mereka, bagaimana?” tanyaku.

“Kata Mas Hikmat tadi siang, dia telah memesan dua kamar Junior Suit di Hotel Novotel Palembang.”

Kulirik jam tanganku. 02.30

“Oke. Aku rehat sebentar, ya!” aku menutup mulutku yang mulai menguap dengan jemari tangan kananku, “Tolong kamu bungkusin dengan kertas kado kedua novel ini, ya…!”

“Oke, Mas!” sahut Ismail bergegas ke lantai atas.

7

Astaghfirullaahal adhiim… Aku terbangun dari lelap. Aku bermimpi kurang baik.

Kulirik jam dinding. Hm, masih jam 03.30

Kupercikkan tetes-tes air suci, mengusapkannya di segenap anggota tubuh wudhu teruntuk bersuci. Kuhamparkan sajadah lebar berwarna cokelat. Itu sajadah pemberian dari ayah dan ibuku kala menunaikan haji dua tahun yang silam.

Kutunaikan shalat Tahajud. Rekaat pertama kubaca surah al Baqarah, sapi betina, hingga ayat kelima belas. Pada rekaat kedua kubaca surah Luqman dari ayat dua belas sampai tujuh belas. Seraya kususuli dengan shalat witir tiga rekaat, rekaat pertama kubaca surah al A’la, yang paling tinggi, rekaat kedua kubaca al Kaafirun, orang-orang kafir, dan rekaat terakhir kubaca surah al Ghaasyiah, hari pembalasan. Kemudian, kuambil mushaf dan terjemah mungilku. Kubuka di surah Yaasin.

Tiba-tiba N 9300i bergetar. Dari Halimah..!!! Dini hari begini mengirimkan SMS???… Ada apa gerangan?!!!

Kubuka,

Saya sedang dirawat di RSUD Dr. Abdul Moeloek, Lampung. Bus LORENA yang kami tumpangi mengalami kecelakaan, terperosok masuk ke jurang karena menghindari tabrakan. Kejadiannya jam 02.30 tadi. Aku belum tahu keadaan Ummi Kultsum. Tadi manakala sebelum kecelakaan terjadi ia sedang tertidur pulas. Kala kusadar, aku tiba-tiba sudah terbaring di Rumah Sakit.

Kontan saja aku menggigil. Tak sabar rasanya menunggu pagi tiba. Aku harus ke Lampung. Segera!!!

8

Aku terbang ke Lampung dengan penerbangan paling pagi. Sesampai di RSUD Dr. Abdul Moeloek di jalan Dr. Rivai nomer 6 Penengahan, Bandar Lampung. Setelah kubayar, aku turun bergegas dari taksi bandara itu. Di  dalam rumah sakit, telah ada kedua orang tua Ummi Kultsum dan Halimah.

Mereka sedang duduk terpekur menunggu di depan ruang VIP, Mawar,  tempat di mana Halimah sedang dirawat. Dari kejauhan, Halimah kulihat nampak masih dalam kondisi lemah tiada daya, dan matanya terkatup rapat. Di tangan kirinya Halimah tertusuk jarum infus. Botol infus tampak menggelantung di sisi kiri ranjangnya.

Aku langsung mencium dengan takzim tangan ayahnya Ummi Kaltsum dan Halimah, lalu aku menangkupkan tangan untuk calon ibu mertuaku dan ibunya Halimah.

Ketika aku  akan mulai membuka mulut karena tak sabar kepingin tahu kabar Ummi Kultsum, ayahnya Ummi Kultsum mengatupkan jemari telunjuk ke mulutnya, mengisyaratkanku untuk diam dan tenang. Ia lalu merangkul dan membimbingku ke arah pojok lorong rumah sakit yang masih menyisakan kursi panjang di sana, menjauh dari ruangan Halimah.

“Bagaimana keadaan Ummi Kultsum, Pak?” tanyaku tak sabar ingin mengetahui keadaan sebenarnya calon istriku itu.

Ia mengambil napas dengan berat, seraya mengembuskannya dengan lirih, “Sesungguhnyalah, tiap yang ada pasti akan kembali tiada. Setiap perjumpaan, pastilah ada perpisahan. Sesungguhnya tiap yang lahir pastilah terkena hukum ajal, baik cepat maupun lambat dan apa pun wasilahnya kala ajal sudah tiba, insan mana pun pastilah tak kuasa menghambat laju kembalinya ruh jiwa. Dan setiap yang fana pastilah binasa. Kerap kali aku lupa, bahwa melimpahnya harta, salehahnya putri semata wayangku, dan pesona istriku kadang membuatku lena. Ah, sesungguhnya aku begitu dihantui beban seberat gunung untuk mengabarkan berita laranya untukmu.” Ia kembali menghela napas, lalu menepuk pundak kananku, ”Nak Fajar… engkau harus tabah. Putri kesayanganku, putri semata wayangku… calon istrimu… ia kini telah pulang! Pulang kembali kepada yang menciptaNya. Ia kini takkan bisa memandang parasmu. Menyaksimu kala engkau mengucap qabul nikah! Ia kini sudah meninggalkan kefanaan menuju alam keabadian. Aku tahu, engkau pasti berat menerima sejuta kisah lara ini, tapi inilah kehidupan fana. Anakku! Engkau harus ikhlas menerima segala keputusanNya.” Ia lalu merangkul pundakku, seraya berkata lirih, ”Sampai kapan pun, kami berdua tetap menganggapmu sebagai anak kandung sendiri!” lalu ia beranjak pergi meninggalkanku yang masih tergugu di bangku panjang.

Aku menggigil! Pilu! Tersedu! Seperti ada kabut salju yang menutupi kedua kelopak mataku. Aku tiada peduli dengan tatapan-tatapan aneh para pengunjung rumah sakit.

Aku menggenggam erat dua novel dalam bungkusan kertas kado bermotif batik.

Duhai cahaya gemintang

Yang mempesona jiwa dengan warna kesalehan

Kini  terbujur kakulah tubuhmu di balik keabadian

Menyisakan  kedukaan untuk sang pujaan

Sirnalah sejuta impian

Tuk memintal mahligai suci pernikahan

9

Di masjid Agung Palembang, Kini hadir Ustadz Mohammad Fauzil Adhim dan Mbak Helvy Tiana Rossa. Masjid megah dengan interior indah ini pada awal mulanya disebut Masjid Sultan dan dibangun pada tahun 1738 oleh Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo.

Masjid Agung Palembang merupakan masjid tua dan sangat penting dalam sejarah kota Palembang. Masjid yang berusia sekitar 259 tahun itu terletak di Kelurahan 19 Ilir, Kecamatan Ilir Barat I, tepat di pertemuan antara Jalan Merdeka dan Jalan Sudirman, pusat kota Palembang. Tak jauh dari situ, ada Jembatan Ampera. Masjid dan jembatan itu telah menjadi pesona tersendiri kota Palembang hingga sekarang.

Mohammad Taslim sebagai General Manager Al Quds membawakan sepatah kata pengantar untuk novel Pulang! dan novel Cinta Yang Tersisa karyaku sendiri. “Ada sejuta kisah di balik terbitnya kedua novel ini. Ada sejuta biru haru kala menyimak kisah kecamuk cintanya. Novel Pulang! Seharusnya menjadi kado terindah untuk Ummi Kultsum di hari membahagianya, hari ini. Sebelumnya, ia sungguh tidak pernah tahu, bahwa naskahnya akan diterbitkan oleh kami. Namun, kita bolehlah bermanis rencana, tapi ketetapanNya kita tak bisa mengelaknya jua. Sedangkan, novel Cinta Yang Tersisa, adalah adikarya dari direktur penerbit kami. Cerita di balik penulisannya pun sungguh membiru haru. Karena hanya dalam masa satu bulan, ia bisa menuntaskan sebuah novel. Karena ia ingin mempersembahkan novel Cinta Yang Tersisa teruntuk calon bidadari salehahnya sebagai mahar dan pengukuh cinta.”

Tiba jua giliranku.

“Hadirin! Sejatinya hari ini, detik ini dan di tempat nan memulia ini, saya, Muhammad Fajar akan melangsungkan akad nikah dengan Ummi Kultsum. Perlu hadirin ketahui, Ummi Kultsum, inilah sang penulis novel Pulang! Selaras dengan judul novelnya, Pulang! Sang penulisnya memang kini telah pulang! Pulang kembali ke Sang Khalik. Pulang menuju taman keabadian. Memang, almarhumah tidak mengetahui sedari awal, bahwa kala setelah akad nikah kami berdua di tampat ini kami lantunkan, akan disertai pula launching novel Pulang! Karya perdana dan monumental almarhumah Ummi Kultsum dibarengi pula dengan novel perdana saya, Cinta Yang Tersisa, yang rencananya akan saya jadikan mahar pernikahan. Saya tidak akan membahas isi kedua novel itu. Saya pribadi memohon maaf kepada segenap undangan, bahwa perhelatan perayaan nikah yang sedianya akan dilangsungkan di rumah bapak dokter Hidayat Spo.K di kompleks Fakultas Kedokteran UNSRI, Inderalaya kami batalkan. Setulus dari kedalaman palung hati, saya pribadi dan mewakili almarhumah juga kedua keluarga besar kami, memohon maaf atas segala hal yang tak kuasa kami mengelaknya. Singkat kata… dan setulus dari hati, saya persembahkan dan dedikasikan novel Cinta Yang Tersisa untuk almarhumah dr. Ummi Kultsum.” Suaraku mendadak tercekat. Mampat di ujung tenggorokan.

Hening. Masjid Agung serasa dibekap mantra bisu.

Kutahu ada sesosok Halimah di balik hijab, tirai yang memisahkan antara barisan pria dan wanita. Kutahu pastilah ia yang sedang menitikkan airmata deras yang tak berkesudahan, airmata perpisahan dengan sahabat terkarib. Yah! Perpisahan pastilah menyisakan kedukaan yang sangat bagi seseorang yang ditinggalkan! Apatah lagi, perpisahan tersebabkan oleh datangnya kematian, karena asa perjumpaan kembali itu telah punah dari langit pengharapan. Akan begitu berbeda, pabila perpisahan itu tersebab karena rentang pautan jarak, karena perpisahan serupa itu, masih menyisakan harap perjumpaan kembali dengan kekasih pujaan.

Giliran Ustadz Mohammad Fauzil Adhim, menuturkan testimoni dan taushiyah-taushiyah pelembut jiwa, ”….Sungguh! dariNyalah kita ada dan kepadaNya jualah kita kan kembali menghadap. Tak lekang oleh perputaran zaman, sebuah buku, kitab dan novel adalah warisan amal jariyah bagi sesiapa yang meninggal dan karyanya masih setia dibaca. Insya Allah, jika buku dan novelnya berisi ajakan kebajikan, menggugah jiwa, dan mengubah keadaan, maka pahala kan mengalir tiada putus untuk sang pengarangnya, pun meski ia sudah berkalang tanah. Sesungguhnya! Inilah jalinan  kisah indah yang tak pernah kita bayangkan di ranah imajinasi sekalipun! Melodinya begitu menyayat, bak alunan sayatan-sayatan syahdu dawai biola. Seharusnya, semula saya hanya akan memberikan khotbah nikah untuk hari bahagia saudara saya, Muhammad Fajar dan Ummi Kultsum, kiranya kehendakNya berbicara lain, calon mempelai putri kini mendahului kita semua.”

Hadirin terdiam. Tenggorokanku tercekat. Dua bulir mutiara dari kedua kelopak mataku kian memaksa untuk merembes turun. Tapi, aku memaksanya untuk tetap kukuh di dalam kelopak mataku. Aku pun memohon, ssstt, diamlah di sana, jangan kau nodai acara ini dengan derai jatuhnya airmata.

Ustadz Fauzil, melanjutkan, ”Novel Pulang! Karya perdana dan terakhir dari almarhumah Ummi Kaltsum ini memang begitu menyentuh. Karena setiap tulisan yang terlahir dari ketulusan dan kelurusan niat, niscaya akan menyentuh kalbu segenap penikmat kata. Tokoh utama dalam novelnya bercerita tentang seorang mahasiswi kedokteran yang menjalani profesi dokter kedinasan di sebuah pulau terpencil di perairan Maluku. Derita dan nestapa selalu membayangi langkah pengabdiannya. Akhirnya ia pun bisa kembali pulang ke Jakarta dengan selamat. Jika kita membacanya, kita seolah bisa larut dan menyelami kedalaman derita dan perjuangannya sang tokoh untuk bisa melanjutkan kuliahnya di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Lantas  konflik pun muncul kala ia ditempatkan di daerah terpencil yang belum ada listriknya, alat transportasi ke arah Ambon saja amatlah sulit dan harus diarungi dengan naik speed boat selama enam jam mengapung-apung di tengah samudra. Sungguh kisah nan menyentuh!”

Lalu terdengar untaian testimoni Mbak Helvy dari balik hijab wanita, ”Saya tidak kuasa berbicara banyak. Cukuplah cerita yang nyata terjelma duka di novel Pulang! ini sudah membuat kita membanjirkan derasnya derai airmata. Saya berharap, banyak orang kian terlecut untuk mewariskan amal jariyah lewat gubahan dan seduhan kata yang indah, seraya membingkainya dengan azam ketulusan dakwah. Menyajikannya dengan ide-ide cemerlang yang memukau pembacanya, mudah dicerna untuk siapa pun yang membacanya dan tentu saja mestilah menggizikan jiwa. Novel yang indah! Seindah cerita di balik proses kepenulisannya dengan iringan melodrama sendu dari akhir hidup si Pengarang yang tersaji nyata di hadapan kita. Semoga amal jariyah almarhumah, senantiasa mengalir bak derasnya arus air Sungai Musi dari muara hulu hingga hilir. Begitulah! Amal jariyah lewat untaian kata nan pahalanya tak berputus-putus jua ditelan masa.” Lalu Mbak Helvy menutup testimoninya.

Yang tak pernah kuduga adalah adanya testimoni tambahan. Sebuah suara yang kukenali benar siapa pemiliknya. Halimah!!! Di antara deru sesenggukan, suara lirih itu memperdengarkan sebuah kesaksian.

“Entahlah! Kan kumulai dari mana awalan kisah sendu dan pilu ini…” suara itu terhenti sejenak karena tercekat. Ada isak di suara lirihnya. Lalu berlanjut,

”Sesungguhnya jiwaku kini dirundung nestapa. Sesungguhnya deru jiwaku tak bisa kutipu, bahwa aku sungguh kehilangan dirinya. Sungguh! Aku kehilangan separoh bagian jiwaku. Sekeping hatiku pun terbang bersama sayap kepulangan ruh jiwanya. Bagaimana tidak, ia sahabat terkaribku bahkan teman-teman kami semasa di SMU dan di kampus menyebut kami sebagai saudara kembar, karena di mana ada dia, pasti di situ ada saya. Namun, kini ia telah berpulang. Novel Pulang!….” suara Halimah kembali terhenti,

“Saya.. s-s-a-y-a tahu benar bagaimana proses perjuangannya dia. Dia begitu terlecut oleh novel perdana saya yang sukses. Dia iri dan cemburu kepada saya, karena bisa menebarkan ide dan pemikiran dakwah dalam sebuah bingkai novel. Lalu… ia pun berdaya upaya di sela-sela coass kami. Ia belajar menulis fiksi kepada saya, ia pun belajar otodidak pula dengan buku-buku tentang kepenulisan. Ia pun tak segan dan sungkan mengikuti hampir semua seminar kepenulisan yang diadakan oleh FLP. Sesungguhnya ia giat dan liat membaca karya-karya sastra dari para sastrawan masyhur dunia, semangat membacanya begitu menggiriskan, ia juga terkesan dan terpikat dengan sastrawan Nusantara. Giat.. liat dan tak kenal lelah dan pantang menyerah untuk belajar. Itulah sisi perjuangannya kala menulis novel Pulang! Hingga suatu petang, tiga hari sebelum…..”

Aku berdiri dan beranjak dari tempat dudukku. Seraya kusalami dan kupeluk erat sang moderator dan Ustadz Fauzil Adhim, dan membisiki mereka. Sang moderator dan Ustadz Fauzil Adhim pun menganguk, tampaknya mereka paham dengan gejolak jiwaku.

Aku berpamit diri dari acara tersebut sebelum acara itu usai, aku memang tak kuasa lagi mendengar kelanjutan kata-kata dari Halimah. Aku sudah berbisik ke Hikmat, untuk mewakiliku jika ada yang bertanya tentang novel Cinta Yang Tersisa kala sesi tanya jawab.

Aku beranjak keluar dari Masjid Agung. Masih kudengar dengan lamat-lamat gema suara Halimah yang memantul-mantul hingga terdengar dari parkiran mobil. Kuusap airmata yang meluruh dari kelopak mataku dengan sehelai tisu muka. Airmata yang tadi sempat kubendung agar tak keluar dari pelupuknya, kian membanjir tak tertahankan. Seraya kuambil kunci Opel Blazer dari saku celana hitamku, dan aku pun melesat pulang ke Hotel Novotel, yang terletak di Jalan R. Sukamto nomer 8A untuk menenangkan diri.

10

Petang, bakda Ashar, selepas acara launching novel Pulang! dan Cinta Yang Tersisa di Masjid Agung Palembang itu usai. Aku berencana  ziarah ke makamnya Ummi Kultsum di pekuburan dekat dengan Fakultas Kedokteran UNSRI, Inderalaya. Kuutarakan niatku itu kepada tiga orang kepercayaanku di lobi hotel.

“Mau kutemani, Mas?” Taslim menawarkan dirinya. Tiga orang kepercayaanku dan keluarganya memang ada di sini. Selain untuk bersilaturahmi dengan keluarga besarku yang ada di Sekayu, Palembang, mereka juga turut serta berusaha membesarkan dan mengukuhkan jiwaku. Padahal, dalam rencana semula, mereka datang untuk acara launching novel Pulang! dan Cinta Yang Tersisa selain itu memang sudah masuk agenda untuk sekalian jadi panitia di hari bahagiaku

Aku menggeleng lemah.

“Yakin?!” kejar Ismail.

Taslim dan Hikmat hanya bisa memandangiku tanpa berkata sepatah kata pun.

Aku tersenyum dan beranjak mengambil kunci di atas meja. Tak berselang lama jalanan utama kota pempek kujelajahi. Jalan dokter Rivai kulewati dengan laju pelan. Menuju arah selatan. Kulewati Jembatan Ampera. Keramaian lalu lintas riuh di atas jembatan legendaris itu. Aku memelankan gas mobilku mengikuti laju mobil yang ada di depanku yang berjalan melambat.

Sesampai di pelataran pekuburan umum, terletak di kompleks Fakultas Kedokteran UNSRI, Inderalaya itu, aku pun beruluk salam.

Kuletakkan novel Pulang! dan Cinta Yang Tersisa itu di atas pusara Ummi Kultsum. Di halaman depan kedua novel itu kutulis gubahan puisinya Ibnu Hazm,

Setiap suka pasti diiringi duka

Mudah berubah semudah balikkan telapak tangan

Dia yang kunanti melemparkan senyuman

Indah menawan seumpama Zabarjad berlian

Hasratku padanya sungguh bergelora dalam dada

Sayang, sang waktu belum jua pertemukanku dengannya

Sabar kunanti-nanti kesempatan emas datang

Kesempatan datang, duhai sang bidadari telah berpulang!

Teruntuk sesosok bidadari impian nan menawan

Ummi Kultsum

Sejuta jingga mulai bersemburat di ufuk barat. Pekuburan umum ini kian dibadai kesenyapan. Di hadapanku sebuah nisan tergurat ukiran kata,

Ummi Kultsum binti Hidayat

Lahir 13 Agusus 1984

Wafat 15 Mei 2008

Aku menghela napas berat. Kutatap cahaya warna keemasan yang mengemilau  di ufuk barat itu. Aku pun membatin, warnamu begitu memukau dunia, tapi engkau kan lenyap jua, kala kegelapan menyelubungi jagat raya.

Oh, Bidadari di ujung penantian

Tidurlah dengan selimut kedamaian

Kan kukenangkan engkau dalam hariku

Nan panjang mendatang

Daun bunga Kamboja berguguran satu persatu dari pojok pekuburan karena diterpa embusan semilir angin petang. Yeah! Sepetang jiwaku, kala sang bidadari tak teraih jemari.

Kala aku akan meninggalkan dan membelakangi pusara Ummi Kultsum, seperti ada sebuah bayangan yang berkelebat. Apakah itu bayangan Ummi Kultsum? Ataukah aku hanya berhalunisasi saja?

11

Cahaya keperakan menembus jendela kaca riben kantorku. Tiga orang kepercayaanku ada di hadapanku sekarang.  Memang, untuk setiap akan meluncurkan novel dan buku baru, kami selalu mendiskusikannya terlebih dahulu. Kali ini novel kedua Halimah, Sejuta Jingga sedang kami godok dan kami bahas.

“Saatnya sudah tepat, Mas. Pembaca di luar sana masih mencintai novel islami. Dan kelebihannya lagi, Mbak Halimah sudah punya penggemar tersendiri,” ujar Hikmat, manajer marketingku.

Aku menganguk, “Kalau kekuatan produksi kita, bagaimana?” tanyaku sembari kupandang Ismail.

“Kalau untuk mencetak sekitar lima ribuan eksemplar dalam bulan ini, stok kertas kita masih mencukupi, Mas.” Sahut Ismail.

Sekarang tinggal mendengar pertimbangan dari Taslim. Aku meliriknya, “Bagaimana menurutmu?”

“Kalau untuk dijadikan satu novel, Sejuta Jingga ini terlalu panjang. Selain  memakan bujet produksi yang cukup lumayan, pembaca akan begitu keberatan dengan harga novelnya. Kalau novel Sejuta Jingga terlalu tebal, otomatis pembaca harus merogoh sakunya lebih dalam. Meski kita tahu Mbak Halimah sudah mempunyai pembaca fanatik yang berjumlah puluhan ribu. Menurut hematku, sebaiknya novel Sejuta Jingga ini kita jadikan dwilogi saja. Jadi… biaya produksi bisa ditekan seminimal mungkin, selain itu pembaca juga tidak keberatan dengan harganya kelak.” Jawab Taslim.

Hm, aku bergumam. Analisanya Taslim memang tajam. Sahabatku yang masih kuliah di Fakultas Ekonomi di UI ini memang tergolong cerdas dan jenius.

Aku pun memutuskan, “Baiklah, novel Sejuta Jingga kita pecah jadi dua. Saya harap dalam satu bulan ini novel bagian pertama dari dwilogi ini sudah terpajang di toko-toko buku di seantero Nusantara.”

Bakda salat Ashar di musala kantor kami, setalah berzikir usai. Taslim dan Hikmat pulang ke rumah. Tinggal Ismail yang masih duduk di belakangku. Setelah berdoa usai. Kuhampiri dirinya.

“Belum pulang, Il?” tanyaku.

Ia menganguk dan menyalamiku. “Bisa mengganggu waktumu sebentar, Mas?”

“Bisalah. Kamu itu! Sok resmi begitu. Ada apa?”

“Begini, Mas. Kalau sudah siap mencari pendamping jiwa, aku punya adik yang sedang kuliah di Gontor Putri, Ngawi. Namanya Faizah. Kemungkinan tahun depan ia lulus kuliah. Ia pakai gamis kok, Mas. Nanti kalau Mas tertarik, akan kutanyakan langsung kepadanya. Gimana, Mas? Maaf lho kalau menyinggung perasaan, Mas. Ini hanya tawaran dariku saja.”

Aku pun menepuk pundaknya. Dan merebakkan senyum, “Terima kasih atas perhatian setulus hatimu. Insya Allah, dalam bilangan dua minggu ini kukabarkan jawabannya untukmu. Sabar ya! Memang tak mudah membalut luka yang kadung tertoreh. Pun meski luka itu mulai sembuh seperti sediakala.”

“Aku mengerti, Mas.” Sahut Ismail, “aku pamit pulang duluan. Mau ngantar Ummi ke kajian ibu-ibu yang diasuh Ustadz Arifin Ilham di majelis Az Zikra. Assalamu ‘alaikum.”

“Wa ‘alaikum salam.” Balasku. Ismail beranjak dari musala, menuju parkiran. Tak berapa lama mobil Honda Genio birunya menderum dan melesat meninggalkan kantor Al Quds.

Aku kembali masuk ke ruanganku.

Mengambil laptop dan membuka yahoomail. Aku ingin memberikan kabar langsung kepada Halimah tentang novel dan hak dirinya sebagai penulis.

To : bungakedua@yahoo.com

From: fajar_02@yahoo.com

Date: 11 July 2008 3.20 pm

Subject: Insya Allah, novel Sejuta Jingga akan diterbitkan

[Assalamu alaikum warahmatullaahi wabaraatuh

Hanya ingin memberikan kabar, kalau novel Sejuta Jingga akan terbit dalam kurun bulan ini dan Insya Allah, novelnya akan kami pecah menjadi dwilogi. Untuk pembayarannya esok saya transfer langsung ke rekening. Selamat berkarya nan bisa menggugah dunia!

Wassalamu ‘alaikum

Muhammad Fajar

Direktur al Quds]

12

Petang setelah Hikmat mentransfer uang tiga ratus juta, sebagai pembayaran awal untuk dwilogi novel Halimah. Itu laporan berkas yang masuk dan kubaca dan kutandatangi hari ini.

Laptop Compaq-ku berkedip-kedip, tanda ada email yang masuk. Sebelum sempat kubuka email itu, N 9300i ku menjeritkan SMS.

Kuraih handphone komunikatorku itu. SMS dari Halimah,

Assalamu alaikum wr.wb.

Alhamdulillah transfernya sudah masuk dalam rekening.

Semoga novel Sejuta Jingga bisa mengikuti jejak kisah sukses Bunga Kedua. Oh, iya, mohon emailnya sekarang dibuka, ya… wassalam.

Dugh.. dugh.. dugh, entah kenapa degup jantungku serasa tak sadar bermelodi ria. Kala kulihat subjek email itu. Tak seperti email biasanya.

Bismillaah! Kubuka lampiran file, Kutahu Debar Jiwaku, tetapi Aku Menunggu! Aku membatin-batin, adakah kejutan dahsyat untukku?!

From: bungakedua@yahoo.com

To: fajar_02@yahoo.com

Date: 11 July 2008 3.20 pm

Subject: Kutahu Debar Jiwaku, tetapi Aku Menunggu!

[Assalamu ‘alaikum warahmatullaahi wabaarakaatuh,

Teruntuk saudaraku Muhammad Fajar,

Semogalah kian bersemangat menerbitkan buku-buku dan novel yang menggugah kesadaran dan kebangkitan jiwa umat.

Alhamdulillah! Uang transfernya sudah saya terima.

Alhamdulillah! Acara bedah novel dan temu penulis di SMUN 1 Palembang kemarin berjalan lancar. Alhamdulillah, sekalian bisa reuni temu kangen dengan para guru juga teman-teman satu angkatan yang kini kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Alhamdulillah lagi-lagi denting kesyukuran kudesahkan teruntukNya yang atas sejuta nikmat dan pendar karuniaNyalah novel ‘Bunga Kedua’ bisa diterima khalayak luas, mulai dari remaja hingga kalangan dewasa di Palembang.

Maaf… sebelum acara bedah novel di SMUN 1, saya kemarin menyempatkan diri berziarah ke makam Ummi Kultsum. Sesungguhnya ia sesosok belahan jiwaku. Di mana ada ia, maka aku pastilah ada, ke mana kakiku melangkah ia selalu menjejeri tiap langkah. Sesungguhnyalah aku dihantam badai rindu untuknya kini! Aku sungguh rindu!! Merindukan pertemuan indah dengannya lagi.

Maaf juga sebelumnya, kubelum sempat bercerita. Kisah yang kupendam dalam balutan lara dan nestapa. Setelah kamu meninggalkan pusaranya Ummi Kultsum tempo hari dulu, saya kebetulan sempat memberanikan diri untuk datang sore setelah acara bedah novelmu dan Ummi Kultsum. Dan ternyata kamu telah mendahuluiku, datang ke pekuburan Ummi Kultsum. Saat itulah kutemui di atas pusara itu dua novel yang seharusnya kamu simpan bukan kamu tinggalkan. Aku tahu! Kamu pasti ingin menghapus badai bebayang kenangan yang menyisakan duka! Tetapi, bukankah itu sebuah kemubaziran? Makanya, kuambil dan kusimpan dua novel itu hingga kini. Dan maaf, kubelum sempat mengabarkan ihwal itu kepadamu. Kuharap engkau tak menaruh syakwa kepadaku.

Saudaraku …

Sesungguhnya, ada yang ingin kuutarakan kepadamu, pun meski semenjak awal aku dirundung badai ragu. Gerangan apalagi, adat kita belum menerima ihwal ini dalam kehidupan keseharian sepenuhnya. Toh begitu, kuberanikan diri jua untuk  mengutarakan senandung hati… meski sesayup bisikan adat itu masih menggelayuti dan menusuk hati. Bukankah ada kaidah ushul fiqih yang menyatakan bahwa, “Adat tidak bisa menjadi dalil dan sandaran hukum dalam perkara syariat?” bukankah ada pepatah masyhur dari bumi Melayu kita, bahwa, “Adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah! Maksudnya, adat seharusnyalah berkesesuaian dengan pijakan-pijakan hukum syariat, syariatlah yang menyandarkan dirinya hanya kepada dua perkara nan telah diwariskan Rasulullah Saw. untuk ummatnya. Yakni, Al Quran dan Sunah RasulNya..” bukankah begitu?!…

Sesungguhnyalah aku teringat dengan alkisah dari sahabat wanita nan memulia, semoga akulah termasuk jua yang mengikuti rima-rima jejak dakwah mereka yang begitu memesonai jiwa. Kuteringat dengan dengan tuturan Imam Al Bukhari yang diriwayatkan dari Anas bin Malik ra. Yang menjelaskan bahwa suatu ketika ada seorang wanita yang menawarkan dirinya kepada Nabi Saw. Wanita itu berkata, ”Wahai Rasulullah! Apakah Anda mempunyai keperluan terhadap diriku? Mendengar penuturan wanita tersebut, putri Anas berkata, ”Alangkah sedikit rasa malunya. Sungguh buruk, sungguh buruk.” Mendengar ucapan putrinya itu Anas pun berkata, ”Dia lebih baik dari dirimu. Dia senang kepada Rasulullah, lalu ia menawarkan dirinya untuk Beliau.”

Berangkat dari hadis di atas, juga deru-deru jiwaku yang tak bisa kutipu. Ada yang ingin kutanyakan kepadamu, jika ada Muslimah yang sudah siap lahir-batin untuk menikah, berkenankah engkau memertimbangkan? Muslimah itu memanglah tak sempurna, ia bukanlah sesosok malaikat nan tersuci dari titik-titik noda, ia bukanlah juga laksana sesosok bidadari surga yang turun ke bumi dengan kesempurnaan  paras dan akhlaknya, tapi ia hanyalah wanita biasa yang tak luput dari silap dan kerap berbuat khilaf, tapi dari kesalahan dirinyalah ia belajar untuk tak mengulangi kesalahan yang sama, lalu ia mencobai untuk mendekat dan mendekap pelangi cinta dan mengecup sehembus angin kasihNya.

Dan sejujurnya ungkapan jiwa, kukatakan kepadamu, bahwa Muslimah itu adalah…. diriku.

Berkenankah engkau memertimbangkannya? Ku tak memaksamu untuk menjawabnya segera, ku tak memaksaimu untuk menerima ia apa adanya. Sungguh! Permintaan hati ini bukanlah karena kerasabersalahanku atas tak terjalinnya ikatanmu dan almarhumah Ummi Kultsum, sahabat karibku. Bukan.. bukan karena itu, sungguh! Permintaan ini berangkat dari lubuk hatiku nan terdalam, inilah sebentuk ikhtiarku teruntuk mendapatkan imam di dunia dan akhiratku, yang bisa menjadi sandaran jiwa kala kudirundung keresahan, yang menjadi panutanku kala menebarkan eloknya dakwah Islam. Yang menjadi peneduh rinduku di kala malam-malam pekat kesendirianku.

Jika pun engkau menolaknya, kan kegetarkan lafal Allaahu Akbar dengan suka cita, mungkin itulah yang terbaik untuk diriku. Dan jika engkau sudi memertimbangkan Muslimah itu, sesungguhnya inilah “anugerah terindah dalam hidupku!”

Itulah sebait deru jiwaku.. tapi aku tetap menunggu!

Maafkan segala kelancangan diriku yang tak sanggup memendam zapin resah jiwaku. Kini kuserahkan segalanya kembali ke Sang Pencipta Jiwa, apa pun keputusanmu itu.

Insya Allah, besok aku kan kembali ke Jakarta. Terima kasih sebelumnya untuk pembayaran term  pertama novel Sejuta Jingga. Kemarin sudah kucek di ATM. Semoga hasil penjualan novel itu bisa untuk menerbitkan buku dan novel lain yang bisa menggugah jiwa.

Wassalamu ‘alaikum warahmatullaahi wa baraakaatuh

Palembang, 12 Juli 2008 03:45 am

Selenting desah harap,

Saudarimu,

Halimah]

Ah. Aku benar-benar di ujung kegelisahan yang tak berpangkal ujung. Bagaimana tidak, satu sisi ada tawaran menarik dari Ismail yang menawarkan adiknya, Faizah yang kuliah di Pondok Pesantren Darussalam, Gontor Putri di Mantingan Ngawi, kemarin manakala rapat usai. Dan kini, datang permintaan setulus hati dari sesosok bidadari salehah! Bagaimana tak kutemukan jalan yang berujung, jika aku tak memohon jalan terbaik dengan menjalani istikharah kepadaNya! Pun meski sebenarnya aku lebih cenderung ke Halimah, selain ia memang sahabat kental Ummi Kultsum, aku juga lebih tahu sedikit sepak terjang dan aktivitas dakwahnya daripada Faizah. Ah! Begitu sulitnyakah memilih dua pilihan yang menyajikan kelebihan yang mengesankan.

13

Satu minggu kemudian, keputusan besar itu pun kuambil. Inilah sebentuk tanggungjawabku. Aku pun berazam..

To : bungakedua@yahoo.com

From : fajar_02@yahoo.com

Date :18 July 2008 09.09 am

Subject : Re: Kutahu Debar Jiwaku, tetapi Aku Menunggu!

[Wa ‘alaikum salam warahmatullaahi wabarakaatuh,

Teruntuk Saudariku Halimah,

Terima kasih untuk segenap doa tulusnya.

Alhamdulillah, jika novel “Bunga Kedua” bisa diterima di kota Palembang, meski itu mungkin masih menjadi polemik dalam masyarakat kita. Intuisiku kala membaca draf awal terdahulu sebelum menerbitkannya sudah berbisik, bahwa novel ini bakal menjadi best seller.

Saudariku …

Sesudah satu minggu seiring berjalan dan berputarnya waktu, kutelah memertimbangkan segala kelebihan dan kekurangan diriku teruntuk permintaan hatimu yang sejujurnya begitu mengejutkan diriku.

“Kutahu Deru Jiwaku, tetapi Aku Menunggu!”… Sesungguhnya bait itulah yang selayaknya untukku. Seharusnya, permintaan itulah yang harusnya kuutarakan kepadamu. Karena kutahu kapasitas keilmuanku yang masih terlalu jauh di bawahmu. Keilmuanku yang baru sejumput tidaklah sebanding dengan kedalaman ilmu Islammu. Itulah yang membuatku lama memertimbangkan dan mengambil keputusan. Sesungguhnyalah, apakah diri ini sudah terlayak teruntuk mendampingimu?? Nah! Itulah yang mengusik-usik jiwaku.

Alhamdulillah, setelah shalat istikharah selama satu minggu ini, Bismillaah! Maka kuputuskan untuk ‘menerima tawaranmu. Semogalah kelak engkau pun berkenan bisa saling membagi ilmu denganku yang masih hijau dalam menebarkan jejaring dakwah. Semogalah kita bisa saling menguatkan azam di jalan dakwah, kalaulah Allah Ta’ala mengizinkan kita bisa merajut temali agung dalam mahligai pernikahan yang diridhaiNya.

Sejujurnya kukatakan kepadamu jua, mungkin inilah kado terindah dalam hidupku, manakala beroleh permintaan indah dari bidadari salehah! Sesungguhnya penantian panjang untuk dipertemukan dengan pujaan jiwa kini kian mendekat nyata. Semoga Allah memuliakanmu dan meninggikan derajatmu di sisiNya. Semoga pabila kelak Allah benar-benar mengizinkan dirimu menjadi pendamping dakwahku, pahala itu kan selalu mengalir deras kepadamu atas keterusteranganmu.

Semoga keterlambatanku dalam membalas emailmu kemarin tidak membuatmu menunggu dalam badai ketakpastian. Ingin rasanya kala beroleh email darimu kemarin itu, kujawab langsung bahwa aku mengiyakan… karena memang itulah yang seharusnya kulakukan. Betapa dungunya diri ini pabila menolak permintaanmu itu. Toh begitu, kadang sebaik apa pun anugerah itu, kita harus memertimbangkannya dengan memohon petunjukNya lewat ikhtiar doa dan iringan munajat. Bukankah begitu, Saudariku?!

Insya Allah, dalam bilangan minggu ini kalau semuanya lancar ku kan mendatangi kedua orang tuamu, sekalian kupulang kampung ke Sekayu. Nanti tanggal pastinya akan kukabarkan lewat SMS saja.  Oh, iya, bersama ini kulampirkan daftar riwayat hidupku juga misi dan tujuanku dalam merajut mahligai suci.

Mohon dimaafkan, atas keterlambatan balasan emailnya.

Wassalamu ‘alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh

Metropolitan, Jakarta, 18 Juli 2008 05:35 am

Saudaramu,

Muhammad Fajar]

Kuklik send.

Tak berselang lama laporan email terkirim muncul di layar monitor laptopku.

Kugumamkan hamdalah, Alhamdulillah! Atas segala puja-puji nikmat yang tak pernah kusangka sebelumnya. Berkah nan tak berujung itu. Alhamdulillah! Bayangan bidadari di penghujung rindu itu mulai merona dengan cahaya indahnya. Semoga kelak jika Allah Ta’ala mengizinkan diriku memiliki cahaya bidadari seutuhnya, sepenuhnya dan abadilah selamanya. Tidak seperti  dahulu, kala bidadari yang kurindu, harus kulepas dengan derai pilu, karena kuas iradahNya memanggilnya kembali dengan cepat, menyergap dan menyirnakan masa remaja sang bidadari dari jagat raya.

14

Pagi nan cerah. Secerah  langit hatiku. Pagi yang berkah, kala gema akad telah terdesah. Cinta itu mulai tetumbuh di taman kesucian. Cinta yang ditenun oleh temali suci pernikahan. Cinta yang berhulu iman bermuara ketakwaan. Amboi, indah nian merayakan keagungan cinta nan bertelekan keimanan.

Aneka makanan disajikan. Tetamu pun kian berdatangan, turut memeriahkan perayaan kesucian mahligai pernikahan. Aduhai! Marilah kita perdengarkan tuturan alur kefasihan dari sesosok penulis yang terkenal dengan kehalusan bertutur keindahan dalam merangkai serajut untaian kata dan kepiawaiannya dalam menyeduh makna, hingga bermunculan mutiara-mutiara makna kata.

Ustadz Salim A. Fillah, kini telah berdiri gagah di antara jamaah pria dan wanita yang terpisah hijab putih di antaranya.

Dengarlah deru jiwanya, resapilah pesan hikmah yang mengiringi setiap desahan kata dari lisan yang terfasihnya.

“Hari ini! Jam ini! Menit ini! Dan detik ini jua! Dua hati telah tersatukan dalam naungan mitsaqan ghaliza -perjanjian agung- nan mempesonakan. Tersatukan pulalah sekeping hati yang terserak kepada kepingan hati yang lain dengan rekatan cinta berkah! Semenjak hari ini pulalah hal-hal yang terharamkan, menjadi pahala yang berbuncah-buncah dengan meriah. Hari ini Muhammad Fajar telah menyempurnakan separoh agamanya, hari ini pula fitrah Halimah menjadikan dirinya sebagai mutiara salehah telah tergenapkan. Bukankah perhiasan paling indah adalah kala memiliki istri salehah!? Dan seteguk madu perjamuan untuk berbuka telah ternikmati, kala dentang kentongan itu memanggil bertalu-talu, memutus penantian panjang syahwatmu.” Ada jeda sejenak di sana.

“Setelah menanti dengan puasa panjang nan ikhlasi. Segerakanlah berbuka dengan nikmatnya! Jangan lupa iringi dengan desah doa, agar kelak keturunan yang memberi bobot ke bumi dengan pekikan Laa ilaaha illallah Muhammad rasulullah terjelma di jagat raya.”

“Bangunlah cinta semenjak kini, dengan rajukan manja, romantisnya kata canda-canda yang mengokohkan selembut tiupan embus cinta.”

“Baarakallaahu laka! Semogalah Allah memberkahi kalian berdua! Aduhai sungguh bahagianya insan yang merayakan keagungan dan kesucian cinta. Semoga berkah Allah azza wa Jalla selalu tercurah teruntuk sepasang cinta! Maka terbarakahilah perayaan cinta suci dalam naungan Ilahi!”

Aku pun tersenyum bahagia. Menyalami sang Pemilik tuturan kata-kata nan mempesona jiwa. Sesungguhnya kekataannya begitu halus, begitu indah dalam bingkai kata yang mengesan.

15

Sudah tiga hari madu pernikahan itu tereguk. Saatnya kami kembali ke Jakarta. Halimah merajuk dan bersikeras kepingin naik bus Malam. Ia enggan naik pesawat.

“Pokoknya aku mau naik bus! Tapi, asal jangan yang bus LORENA,” saat sarapan pagi ia mengutarakan pinta. Hm, biasanya kalau wanita suka merajuk dan sensitifnya menjajahi jiwanya, tamu agung bulanannya sedang datang menjenguknya. Saat-saat begini, memanglah sangat rawan dengan kondisi kejiwaannya, itulah ilmu sebelum pernikahan yang kudapatkan dari Taslim.

Ayah dan ibunya Halimah hanya tersenyum melihat polah putrinya itu.

Aku pun mengalah, “Iya, iya. Tapi, jangan merajuk begitu.”

“Beneran, ya!”

“Iya.” Jawabku sembari menganguk.

Jam 09.15 kubeli dua tiket bus eksekutif PUTRA REMAJA, Palembang-Jakarta. Di tiket tertera keberangkatannya sore nanti berkisar jam 16.00. Kami beroleh nomor kursi 11 dan 12, masih termasuk barisan kursi terdepan. Menurut petugas loket jaga yang ada di situ, kami harus siap dan menunggu setengah jam sebelum keberangkatan dari pool bus yang terletak di Jalan Kolonel Atmo nomer 72.

Dalam perjalanan pulang dari membeli tiket bus, Halimah kepingin mencicipi pempek. Aku pun membelokkan mobilku ke sebuah warung pempek yang sudah cukup dikenal di Palembang. Warung pempek ‘Cek NELLY’ yang terletak Jalan Raya Palembang-Betung KM 14 Sukajadi, tepatnya berada di  samping pabrik minyak Bumi Waras.

Menjelang siang, warung  Cek NELLY cukup ramai dipenuhi pelanggan. Aku memang sudah lama tidak mencoba makanan khas Palembang yang satu itu. Di Jakarta sebenarnya bertebaran juga warung yang menyediakan pempek, tetapi rasanya tetap beda. Kami memesan dua porsi pempek dan dua gelas jus alpokat.

Sembari mengunyah pempek kapal selamnya tiba-tiba Halimah nyeletuk, “Eh, Cinta! Aku kepingin mampir ke makam Ummi Kultsum, Yuk!”

“Ya, ya, ya. Tapi dihabisin dulu makannya.“

“Beneran?!” seru Halimah.

“Iya.”

Seusai membayar di kasir. Aku pun meminta dibungkusin dua porsi pempek kapal selam.

“Untuk siapa?” tanya Halimah dengan keheranan.

“Ayah dan ibu,” jawabku sembari tersenyum.

“Kok perhatian banget sih dengan ayah dan ibuku?” goda Halimah ketika kami berjalan menuju parkiran mobil.

Kujawab sembari mengambil kunci mobil di celana hitamku, “Namanya juga menantu yang baik. Dan sekarang mereka juga telah menjadi kedua orang tuaku. Bukannya orang tuamu adalah orang tuaku juga?”

“Iya juga, ya!” sahut Halimah.

Di perjalanan menuju makamnya Ummi Kultsum, Halimah hanya berdiam diri. Mungkin ia masih terkenang dengan sahabat terkaribnya itu, aku membatin. Aku pun tidak berani mengganggu kebisuannya itu.

Di depan pusara Ummi Kultsum, Halimah berdiri. Gamis dan kerudung cokelatnya berkibar-kibar diembus sepoi angin. Kulirik matanya. Ada rembesan bulir-bulir airmata meluruh. Aku sungguh tak tahu tembang apa yang ia gemakan. Kurangkul dengan sepenuh kasih pundaknya.

Manakala usai berdoa, kuusapkan ujung kerudung Halimah ke sudut matanya yang basah.

“Terima kasih!”

“Untuk apa?” tanyaku.

“Untuk segalanya, serta untuk selembut  dan setulus perhatianmu untukku.”

Aku membalasnya dengan seulas senyuman. Lantas kami meninggalkan pekuburan yang mulai dimandikan oleh cahaya mentari siang.

16

Seusai shalat Zhuhur kami sibuk mengepak pakaian ke koper jinjing. Tak banyak memang, hanya dua koper perjalanan. Satu punyaku dan satu punya Halimah. Karena aku memang tidak membawa banyak pakaian ke Palembang.

Kami berdua diantar oleh Ayah dan Ibu mertuaku ke tempat bus akan kami tumpangi ke Jakarta.

Sesampai di pool bus, ternyata bus sudah siap diberangkatkan. Aku dan Halimah berpamitan ke Ayah dan Ibu mertuaku.

“Hati-hati di jalan. Sesampai di Jakarta langsung telpon ke Palembang, ya.”

Kami berdua pun menganguk. Setelah mencium takzim, kami berdua pun pamit, “Assalamu alaikum!”

“Wa alaikum salam.”

Dengan iringan lambaian tangan mertuaku, bis mulai berjalan dengan merayap ke jalan besar. Lalu menjelajahi pinggiran kota Palembang.

Halimah hanya bisa terjaga selama lima belas menit. Mungkin karena kecapekan berkemas tadi. Ia terlihat lelah dari raut mukanya. Semburan hawa dingin AC di atas kepala kami, meninabobokan tidurnya.

Kala bus PUTRA REMAJA melaju di daerah Kayuagung, Halimah terbangun. Seraya mengucek-ngucek matanya, ia bertanya,  “Cinta! Kita sudah sampai mana, ya?”

“Kita sudah sampai Kayuagung. Kamu lelap sekali, katanya mau menikmati panorama senja di sepanjang jalan Lintas Timur? Kok tidur terus?” godaku.

Halimah memandang keluar jendela bus yang melaju. Lalu ia menghadapkan wajahnya ke arahku,

“Maaf ya, Cinta! Entahlah aku lagi tak enak badan. Padahal aku biasanya paling suka dan menikmati suasana dalam perjalanan dengan bus. Karena bisa meletikkan ide-ide baru untuk plot novelku.” Kulihat matanya memang kelihatan sayu, “Eh, Cinta! Maukah kaudengar gubahan puisi sunyi hatiku, kala kita mengunjungi makam Ummi Kultsum tadi pagi?”

Aku meletakkan novel Les Miserables-nya Victor Hugo di pangkuanku. Seraya kupeluk pundaknya, kulingkarkan tanganku di bahu kanannya. Seraya berkata, “Kini aku siap mendengarkan senandung jiwamu, Manisku!”

“Tapi, janji dulu, ya!”

“Janji apa?”

“Engkau tak sedih dan menggerimiskan airmata. Masa cowok nangis?!”

Kukulum senyum, “Iya. Aku janji!”

Halimah menyandarkan kepalanya di pundak  kananku. Aku pun memeluknya lebih erat. Lalu dengan rekahan senyum, Halimah menyenandungkan puisi jiwanya.

“Sahabat…

Kesehatian adalah jiwa sejati pertemanan

Kala sang sahabat terlarut duka, ia pun turut lara

Tetapi, kala sahabat terbuncah keriangan

Sang sahabat pulalah tersipu senang

Sahabat! Semogalah engkau turut senang

Karena kini sang pujaan jiwa telah kutemukan…!”

Aku pun memujinya setulus hati, “Ah, puisimu puisi duka, tetapi berhulu bahagia.”

“Indah, ya?!” tanya Halimah.

Aku menganguk dengan senyum. Lalu kuujarkan, “Terlalu indah untuk dilukiskan dengan gubahan kata!”

Halimah mengeratkan pelukannya. Bidadari, peluk aku lebih erat lagi, dengan serenada rindumu.[]

Gedung Menara Hikmah, Yogyakarta, 15 Juli 2008 07:30

=================================

Keterangan pengukuh,

BG                   : pelat kendaraan Palembang, Sumatera Selatan

Coass               : Co assistant (kuliah praktik di RS kurun dua tahun)

Embossed        : timbul.

FLP                 : Forum Lingkar Pena

Novelet           : (semi novel) berkisar antara 10.000 sampai 50.000 kata

Sekayu             : salah satu Kabupaten di Musi Banyuasin, Palembang

Wong Kito       : gelar lekatan untuk masyarakat Palembang

Zapin               : tarian khas dari Melayu yang diiringi kendang

13 responses »

  1. Mmm kan ke baik kalau semua blogger camnie… saya suka post awak.. tahniah…

  2. mas Mihau doang says:

    hmm…walopun rada mirip2….tapi suerrr…aku suka !!!. izin Copas ya bang aPu…

  3. Listy says:

    Sungguh indah. . .:)

  4. zainal arif says:

    ini tulisan mas apu’ yang berhasil mengoyak-ngoyak jiwaku, sungguh karya ini takkan pernah terlahir dari jiwa yang kotor. mas apu’ terim kasih telah membagi bahasa jiwamu untukku. teringat waktu itu kau kirim ke emailku. syukron ya

    • sastralangit says:

      Aq bukanlah seinsan sempurna.
      aq serupalah dengan insan kebanyakan.
      yg tak terluput dari kesilapan.

      berbagi cerita.
      bertutur duka.
      dan saling mengingatkan lewat seduhan kata.
      adalah keterpanggilan jiwa.

  5. shabrina says:

    Hmmm……..
    jdi kangen Palembang…

  6. Alga says:

    hemm… pengalaman batin sy untuk fiksi apu masih sama. Sy berasa ada di negeri jiran. Aneh-aneh pilihan diksinya. Sesuatu yang rasanya sulit untuk saya lakukan. sesekali berjiran ternyata bagus jg untuk rehat otak 🙂

  7. anabel rosetti says:

    heu heu 😀

Leave a comment